Cerpen Cinta Romantis: Rain

Berikut ini cerpen cinta romantis terbaru dengan judul "Rain". Cerpen ini merupakan karya Dian S.

Cerpen Romantis - Rain (Part 1)



Bianca berdiri di balkon kamarnya. Pandangannya menatap lurus ke depan. Hujan yang begitu deras kini menyita perhatiannya. Dia menatap rintik-rintik air yang turun dengan sendu. Kepingan-kepingan puzzle memori perlahan membentuk sebuah gambar utuh dalam ingatannya. Sebuah kenangan pahit 5 tahun yang lalu berputar kembali di otaknya. Kenangan yang menjadi awal mula ia membenci hujan.

Awalnya memang dia sangat menyukai hujan. Air yang turun dengan damai yang membawa manfaat dan kebahagiaan bagi semua orang. Dia selalu senang duduk di bawah hujan, karena menurutnya hujan dapat menghapus semua masalahnya. Hujan yang mempertemukannya dengan seseorang yang dia cintai namun di bawah hujan dia kehilangan orang yang sangat berharga baginya itu. Dia tak menyalahkan hujan atau siapapun. Karena sungguh yang pantas disalahkan adalah dirinya yang sangat mementingkan egonya. Sungguh, alasan dia tak menyukai hujan karena hujan mengingatkannya pada kebodohannya 5 tahun yang lalu.

Perlahan air mata turun membasahi kedua pipinya. Bayangan guardian angelnya dulu kembali terlintas di benaknya. Di mana dia sekarang? Bagaimana keadaannya? Apa dia masih mengingat Bianca? Apa masih ada harapan mereka bertemu? Bianca tertegun. Dia menertawai dirinya sendiri. Bagaimana mungkin dia masih bisa berharap bisa bertemu dengan Ryan. Yang ada malah Ryan akan membencinya dan tak mau melihatnya. Dia menyesal telah menolak cinta sang guardian angelnya dulu. seandainya waktu bisa diputar kembali.

“Bianca, lagi ngapain lo?” Tanya Kayla, sahabat Bianca dari zaman SMA dulu sambil nongol di samping Bianca. Bianca tak menoleh. Dia masih asyik dengan pikirannya sendiri.
“Bianca, hellow.. Apa yang lo pikirin sih?” Tanya Kayla sambil melambai-lambaikan tangannya di depan Bianca. Bianca tersadar dari lamunannya dan menoleh ke arah Kayla dan buru-buru menghapus air matanya.
“Eh, lo nangis, Bian?” Kayla mulai menyelidiki Bianca. Bianca gelagapan.
“Eh.. nggak. Gue gak nangis.” Dusta Bianca dan Kayla tahu itu. dia tahu saat ini Bianca pasti memikirkan Ryan, seseorang dari masa lalu Bianca. Dia tahu sifat Bianca akhir-akhir ini. Sejak 5 tahun lalu, dia menjadi seorang pribadi dingin dan rapuh. Rupanya orang itu sangat berpengaruh besar dalam hidup Bianca.

“Lo gak usah mikirin Ryan lagi, Bian. Buka hati lo buat yang lain. Gue gak mau lihat lo terus-terusan sedih kayak gini. Simpan Ryan jauh-jauh di memori lo sebagai masa lalu saja.” Nasehat Kayla. Matanya memandang lurus ke depan.
“Gue udah berusaha, Kay. Tapi gak bisa. Dia terlalu berharga buat gue. Dan bodohnya gue biarin dia pergi gitu aja.” Ujar Bianca lirih. Air matanya tak bisa terbendung lagi. Turun begitu saja bersamaan dengan munculnya kenangan tentang Ryan. Dari awal mula dia bertemu hingga dia berpisah dengannya dengan hujan sebagai saksinya.

Flashback On
5 Tahun Lalu
Hujan deras mengguyur kota menyebabkan orang-orang memilih berlarian mencari tempat berteduh. Namun, lain halnya dengan Bianca. Disaat orang-orang menyelamatkan diri dari guyuran hujan, dia lebih memilih membiarkan hujan deras membasahi tubuhnya. Sembari duduk di bangku taman kota, dia menangis dalam diam. Menumpahkan segala masalahnya dalam tangisan tersebut. Dan mengira bahwa guyuran hujan dapat menghapus masalahnya ini.

Orangtuanya resmi bercerai sejam yang lalu. Dan inilah yang membuatnya menangis. Mulai sejam yang lalu dia telah menyandang status ‘si broken home’. Namun bukan hanya itu yang dia tangisi. Masalah sebenarnya adalah dia adalah anak yang tak diinginkan. Dia selalu disebut-sebut dalam pertengkaran orangtuanya sebagai sebuah kesalahan. Entah bagaimana nasibnya setelah ini, mungkin dia akan tinggal sendirian di mansion besar keluarganya. Walau kenyataannya dia akan tinggal dengan ibunya, namun wanita karir itu seolah hanya peduli dengan bisnisnya di luar negeri.

Hujan semakin deras, dan Bianca tetap bersikeras duduk di bangku taman itu walau badannya menggigil. Hingga tanpa dia sadari seseorang datang di hadapannya dengan payung di tangannya. Memayungi Bianca yang kini hanya bisa terpejam sambil menggigil.

“Hei, lo gak bermaksud bunuh diri dengan cara mati karena kedinginan kan?” Ujar orang itu. sontak Bianca pun membuka matanya dan mendongak, menatap wajah asing di hadapannya.
“Gue Ryan, mahasiswa baru di sini. Lo pasti Kak Bianca kan? Jurusan Farmasi semester 3?” Tukas Ryan dan sukses membuat Bianca mengernyitkan alisnya. Bingung.
“Da.. dari mana lo.. lo tahu?” Tanya Bianca. ‘Kenapa gue udah kayak Azis Gagap gini?’ Batinnya. Mungkin karena Bianca menggigil, jadi ucapannya terbata-bata.
“Lo lupa? Lo kan yang ngenalin diri waktu acara penerimaan mahasiswa baru minggu lalu.” Ucapan Ryan membuat Bianca mengutuk dirinya sendiri. Kenapa otaknya jadi korslet begini? Apa perceraian orangtuanya berpengaruh pada sistem kerja otaknya?
“Ah ya,” Ryan menyerahkan payungnya di tangan Bianca sementara dirinya membuka hoodienya dan menyampirkannya di punggung Bianca.
“Gue balik ya.” Setelah itu Ryan meninggalkan Bianca sendiriann bersama payung dan hoodie miliknya.

Bianca memandang siluet Ryan yang semakin menjauh. Satu hal yang baru disadarinya. Ryan adalah satu-satunya adik tingkatnya yang berani berbicara informal alias lo gue dengannya. Padahal kan Bianca terkenal sebagai salah satu senior tergalak di kampusnya.

Semenjak kejadian itu, Ryan selalu memperhatikan Bianca. Dia selalu berusaha dekat dengan Bianca. Selalu memberikan perhatian-perhatian kecil seperti membawakan kotak makanan untuknya, menemaninya ke manapun, dan menawarkan tumpangan pulang. Walau dia tahu Bianca pasti akan menolak perhatian yang diberikan padanya. Alasan dia melakukan hal itu hanya satu. Dia mencintai seniornya itu pada pandangan pertama.

“Bianca! Bianca tungguin gue!” Ryan mengejar Bianca yang berjalan cepat di depannya dan menyamakan langkahnya dengan Bianca. Teriakan Ryan membuat para mahasiswa di sekitar memusatkan perhatian ke arah mereka.
“Gue anterin pulang ya..” Tawarnya.
“Gak usah. Sopir gue jemput.” Jawab Bianca jutek. Dia pun makin mempercepat langkahnya. Namun, langkahnya terhenti karena tangan Ryan memegang erat lengannya.
“Kali ini saja. Biarkan gue anterin lo. Pleaseee..” Ryan memasang tampang cutenya berusaha meluluhkan hati Bianca. Namun nyatanya susah. Di pandangan Bianca tampang Ryan malah terlihat mengerikan.
“Gak. Gue bilang gak, ya gak.” Bianca masih tetap pada pendiriannya.
“Oke kalau lo gak mau, gue maksa.” Ryan baru saja mau narik Bianca menuju motor ducatinya, eh tiba-tiba tubuhnya malah mencium lantai dengan tidak elitnya. Dia menganga lebar menatap Bianca. Eh, Bianca barusan membantingnya? Sebesar apa tenaga Bianca? Hah, Rupanya Ryan belum tahu kalau Bianca adalah seorang atlet judo.
“Lo, berhenti deketin gue. Berhenti ngasih perhatian lo. Dan jangan pernah maksa gue. Kalau gak, tubuh lo bakal retak karena bantingan gue lagi.” Setelah berbicara seperti itu, Bianca melangkah menjauhi Ryan yang kini berusaha bangkit sambil memegang pinggangnya yang mungkin encok. Bantingan Bianca gak main-main, gaez.

“Kalau gue bilang gak mau berhenti, gimana?” Bianca langsung menghentikan langkahnya dan berbalik ke arah Ryan. Sedang Ryan malah nyengir lebar ke arah Bianca. ‘Apa ni cowok udah gila karena bantingan gue tadi.’ Batinnya sambil menatap Ryan aneh.
“Ya udah. Kalau itu mau lo. Dan gue saranin, sebaiknya lo mesti hubungi dokter spesialis tulang. Karena mungkin tulang lo bakal beneran retak kali ini. Dan kalau alasan lo deketin gue hanya untuk mempermainkan gue, sebaiknya lo berhenti. Karena gue gak tertarik dengan permainan lo.” Ancam Bianca. Namun, jangan panggil Ryan kalau menaklukan hati Bianca saja tak bisa. Dia malah tersenyum lembut lalu berjalan dan berdiri tepat di hadapan Bianca. ‘Fix. Mungkin ni orang beneran gila. Diancam malah senyum.’ Batin Bianca.

“Gue gak pernah ada niat buat mempermainkan cewek. Apalagi lo. Gue deketin lo, karena gue cinta sama lo.” Tukas Ryan tulus sambil tersenyum manis. Dan Bianca hanya menatapnya sambil tersenyum remeh.
“Asal lo tahu, gue gak pernah percaya dengan cinta konyol lo itu. Karena yang gue tahu lo sama saja dengan cowok lain diluar sana yang hanya mempermainkan cewek.“ Usai bicara seperti itu, Bianca langsung melenggang pergi dari hadapan Ryan. Sedang Ryan? Dia malah makin tersenyum lebar.
“GUE BAKAL BUAT LO PERCAYA CINTA GUE, BIANCA!” Teriak Ryan yang sontak menyita perhatian seluruh mahasiswa yang ada disitu. Bagaimana tidak, baru kali ini ada yang ngomong kayak gitu ke Bianca pake teriak segala lagi. Beberapa mahasiswa bahkan menatap Ryan miris. Ryan satu-satunya cowok yang berani deketin senior galak alias si Bianca.
“Dasar Gila!” Desis Bianca kesal. Walau sebenarnya dia tak dapat memungkiri kalau sekarang jantungnya berdegup kencang dan wajahnya merona saat mendengar pernyataan tulus Ryan itu.

Ryan gak main-main dengan ucapannya. Buktinya, setiap hari dia berusaha deketin Bianca. Walau dia harus kena tabokan Bianca atau parahnya dia harus dibanting Bianca, dia tetap bertahan. Mungkin dia sudah kebal dan menganggapnya sebagai pukulan sayang. Gila emang. Setiap kata-kata gombalannya hanya dianggap angin lalu oleh Bianca. (Kasihan sekali nasibmu, nak).

Bianca sendiri sangat kesal bila harus berurusan dengan Ryan. Dia sudah curhat pada sahabatnya Kayla yang saat ini sedang ikut program pertukaran pelajar ke Korea. Tapi bukan curhat karena dia sudah jatuh cinta pada Ryan, melainkan curhat dengan tujuan mencari cara agar menghindar dari orang menyebalkan itu. Namun apa jawaban sahabatnya. Dia malah diceramahi satu jam. Kata Kayla, ‘Apa salahnya lo belajar membuka hati pada Ryan, Bianca. Asal lo tahu, gak semua cowok sama dengan apa yang lo pikirin Bianca. Gue yakin dia serius dan tulus sama lo. Lo mau kehilangan orang setulus dia? Inget Bian, ada waktunya dimana dia akan menyerah kalau lo gak memberi kepastian. Kesabaran seseorang ada batasnya. Lo harus pikirkan kata-kata gue galau gak lo bakal menyesal nanti.’

Bianca merenungi kata-kata Kayla. Ada desiran aneh di hatinya. Apa selama ini dia sudah keterlaluan pada Ryan? Namun, Bianca tetaplah Bianca. Dia membiarkan egonya mengalahkan rasa cinta yang mungkin sudah mulai tumbuh.
Hingga hari dimana segalanya berubah. Saat itu bertepatan dengan Bianca yang baru naik ke semester 5. Hujan pun turun dengan deras hari itu. Saat itu Bianca tengah terburu-buru karena beberapa saat lalu, dia mendapat telepon dari Ibunya kalau beliau baru tiba di bandara. Beliau meminta Bianca untuk menjemputnya dibandara. Walau awalnya dia membenci ibunya setelah perceraian orangtuanya, namun dia tak dapat memungkiri kalau dia merindukan sosok yang telah melahirkannya itu.

Saat Bianca tengah menerobos hujan menuju mobil jemputannya, seseorang menabraknya dari depan hingga membuat hp yang ada digenggamannya terjatuh ke tanah. Beruntunglah hapenya tahan air. Dia pun menunduk mengambil hapenya di tengah guyuran hujan. Sedang orang yang menabraknya langsung ngacir setelah menyadari orang yang ditabraknya adalah senior galaknya.
“Dasar gak tahu diri.” Bianca menggerutu kesal sambil memungut hapenya. Bajunya kini basah terkena guyuran hujan. Hingga seseorang datang memayunginya. Bianca pun berdiri dan menatap orang itu.

“Ngapain lo mulung di tengah hujan gini?” Tukas Ryan. Awalnya sih ngajak bercanda. Eh tahunya malah dihadiahi tatapan tajam dari Bianca.
“Kalau lo gak tahu apa-apa mending lo diem. Gue lagi malas ngebanting orang saat ini.” Bianca hendak berlalu dari hadapan Ryan, namun cowok itu menahan lengannya.
“Gue mau ngomong sesuatu ama lo. Penting.” Ujar Ryan penuh penekanan. Bianca pun terpaksa menoleh ke arah Ryan malas.
“Ngomong apa? Cepetan gue buru-buru.”
“Apa lo cinta sama gue? Apa mulai sekarang lo udah ngebuka hati lo buat gue? Kalau belum, Apa masih ada harapan lo bakal jatuh cinta sama gue? Dan kalau gue mau pergi, apa lo bakal nahan gue untuk tetap di sisi lo?” Rentetan pertanyaan konyol Ryan membuat Bianca menatapnya datar walau sebenarnya jantungnya kini berdegup hebat. Hatinya ingin berkata ‘Ya’ namun lagi-lagi Egonya mengalahkan segalanya.
“Gak. Gue gak cinta sama lo. Gue gak bakalan ngebuka hati gue buat lo. Dan kalau lo mau pergi silahkan, gue gak ada niat nahan lo.” Walau hanya beberapa kalimat, namun cukup menusuk tepat di hati Ryan. Ryan pun hanya bisa tersenyum kecut.
“O..oh, jadi begitu. Baiklah, sekarang gue udah bisa memutuskan. Gue nyerah, Bian. Gue nyerah ngejar cinta lo.” Setitik air mata turun dari kelopak mata tajam milik Ryan. Bianca terpaku melihatnya. Dadanya serasa sesak saat ini. Muncul perasaan tak rela di hatinya. Tangannya perlahan hendak menyentuh wajah Ryan, bermaksud menghapus airmatanya, Namun terhenti tatkala Ryan menyampirkan hoodienya (lagi) di bahu Bianca dan menyerahkan payungnya (lagi) padanya.

“Mulai saat ini jangan pernah ninggalin payung lo di rumah. Selalu bawa hoodie lo, karena nanti lo bakal kedinginan. Jangan pernah lo nangis karena masalah lo lagi. Hadapi masalah lo dengan tegar. Karena mulai saat ini, gue mungkin akan pergi dari hidup lo.” Usai berbicara seperti itu, Ryan berlalu dari hadapan Bianca. Berlari menembus hujan meninggalkan Bianca yang seolah terpaku di tempatnya. Dia hanya bisa menatap nanar punggung Ryan yang semakin menjauh. Dadanya semakin sesak. Pandangannya buram, karena kini airmatanya menghalangi pandangannya.

“Jangan pergi.” Desisnya. Entah apa yang dirasakannya kini, namun hatinya sungguh tak rela melihat Ryan pergi. Karena saat itu Bianca terlambat menyadari semuanya. Menyadari kalau separuh hatinya kini hilang bersama kepergian Ryan. Dan dia telah jatuh dalam pesona seorang yang amat dibencinya.

Cerpen Romantis - Rain (Part II)


“Kalau gue bilang ‘Ya’ waktu itu, mungkin dia masih bersama gue, Kay!” Bianca kembali menangis. Kayla yang melihatnya pun hanya bisa menenangkan hati sahabatnya ini.
“Sudahlah, Bian. Gak usah dipikirkan. Gue yakin saat ini dia masih cinta sama lo dan suatu saat nanti lo pasti bakal bertemu dengannya lagi. Dan kalau saat itu tiba, cinta lo bakal terbalaskan dan kalian bisa ta’arufan.”
“Itu gak akan terjadi, Kay. Karena.. Karena gue sudah dikhitbah.” Ucapan Bianca sontak mengangetkan Kayla.
“Dikhitbah? Dengan siapa? Kok lo gak bilang sih.”
“Iya, gue sudah dikhitbah. Namanya Amar Malik. Seorang dokter muda. Dia akan datang lusa bersama orangtuanya membahas pernikahan kami. Gue belum bertemu secara langsung sih. Tapi, gue yakin dia orang yang baik.” Jelas Bianca.
“Bisa gue lihat fotonya?” Tanya Kayla. Bianca pun berjalan menuju meja riasnya dan mengambil sebuah foto cowok berbaju koko dan berpeci hitam lalu meyerahkannya ke Kayla. Kayla pun mengamatinya dalam.
‘Kok mirip seseorang ya?’

Bianca duduk di bangku taman kota. Pikirannya berkecamuk. Sebenarnya dia tak ingin menyetujui pernikahan tanpa cinta ini. Namun, di sisi lain logikanya meyakinkan dirinya kalau mungkin ini satu-satunya jalan move on dari bayang-bayang Ryan. Lagipula dia sudah memberikan persetujuan pernikahan ini pada ibunya. So, semoga aja keputusannya benar. Tapi, di lain sisi ada satu hal yang paing dia takuti. Dia takut tak bisa melupakan Ryan dan hanya menjadikan Amar sebagai pelampiasan. Dia terlalu takut menyakiti hati orang lagi.

Tanpa Bianca sadari, langit kini tengah mendung. Hujan pun perlahan turun membasahi bumi. Namun, Bianca masih duduk di sana, berperang dengan pikirannya sendiri. Dia baru menyadarinya saat rintik air itu membasahi pipi chubbynya.
“Sudah hujan. Mana gue kagak bawa payung lagi.” Gerutunya kesal. Bianca hendak beranjak dari bangku itu. Namun, kedatangan seseorang yang kini berada di hadapannya membuatnya mengurungkan niatnya itu.

“Lupa bawa payung lagi?” Merasa seperti déjà vu (Kejadian yang pernah dialaminya), Bianca mengangkat wajahnya. Dia sangat mengenal suara ini. Sangat.. sangat kenal.
“Ryan..” Lirihnya. Hanya itu yang bisa diucapkannya. Bianca menatap Ryan dalam. Wajahnya masih tetap sama dan juga sekarang dia sudah lebih tinggi. Ryan memakai jas formal yang menunjukkan kewibawaannya.
“Sudah kuduga. Kau selalu seperti ini. Sampai kapan kau bisa menghentikan kebiasaanmu itu, Bianca Salshabilla?” Lanjutnya. Ada yang berbeda dari ucapannya. Sekarang mungkin sudah lebih sopan alias formal. Bianca tersenyum dalam hati. Mungkin ‘luar negeri’ merubah cara bicara orang yang dulu adik tingkatnya ini.
“Long time no see, Bisa kita bicara sebentar?” Lagi-lagi Ryan yang berbicara sedang Bianca hanya bisa mengangguk.

“Jadi, bagaimana kabarmu?” Suara Ryan kembali membuka pembicaraan. Saat ini mereka tengah berada di café yang berada di depan taman kota. Bianca mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk. Sumpah demi apapun, suasana saat ini benar-benar canggung.
“Kabar gue baik. Kalau lo?”
“Seperti yang kau lihat. Sangat baik. Oh ya, kudengar kau sekarang bekerja sebagai seorang apoteker di sebuah RS.”
“Ya, dari mana lo tahu?”
“Dua hari yang lalu aku tak sengaja bertemu Kayla di perpustakaan kota. Dan dia lalu menceritakan tentangmu padaku. Termasuk kau yang selama ini menungguku.” Kalimat terakhir Ryan membuat pipi Bianca merona. Teganya si Kayla mengatakan seperti itu pada Ryan. Mau taruh di mana muka si Bianca. Malu banget, gaez. Ingatkan Bianca untuk mensmackdown sobat cerewetnya itu.

“Soal perkataanku terakhir kali, lupakan saja. Karena sampai saat ini aku tak bisa menyerah dan melupakanmu. Aku masih mencintaimu. Dan Bianca, aku tahu ini terlalu cepat, tapi kali ini aku tak akan membuatmu menjauh lagi dariku. Bisakah kau menerimaku menjadi imammu? Menjadi pendampingmu hingga akhir hayat?” Ujar Ryan menatap Bianca dalam.
Namun, mendengar pernyataan Ryan ini membuat hati Bianca meringis. Sungguh hari ini adalah hari yang paling dinantinya. Bertemu dan dilamar Ryan. Siapa coba yang tak bahagia dilamar orang yang dicintainya. Dia sangat ingin menerima lamaran Ryan. Namun, statusnya kini menghalanginya. Dia sudah dikhitbah dan akan menjadi milik orang lain.
“Maaf Ryan, gue gak bisa.” Lirih Bianca. Matanya kini berkaca-kaca.
“Kenapa, Bian? Bukankah kau mencintaiku? Kayla sudah menceritakan semuanya padaku.” Ryan sungguh kaget dengan jawaban Bianca yang diluar dugaannya.
“Aku memang mencintaimu, tapi aku.. Aku sudah dikhitbah. Maaf.” Jawaban Bianca seolah menusuk kedalam hati Ryan. Bianca pun berdiri dari bangkunya dan berlari keluar café. Dia tak bisa menahan tangisannya kini. Dadanya sungguh sesak. Mengapa disaat dia sudah menyerahkan separuh hatinya pada cowok yang dulu dibencinya, dia tak diberi kesempatan untuk bersamanya. Mungkin ini adalah karma untuknya yang dulu menyia-nyiakan cinta tulus seseorang. Dan kini, untuk kedua kalinya dia merasa takdir seolah mempermainkan dirinya.
Sedang Ryan, dia menatap sendu kepergian Bianca. Sungguh, dia tak menginginkan kejadian seperti ini. Apa mungkin ini adalah akhir dari kisah cintanya?

Esok telah tiba. Hari ini adalah hari yang paling menegangkan bagi Bianca. Gimana enggak, hari ini adalah hari dimana dia akan bertemu calon suaminya yang belum pernah dilihatnya. Dengan langkah anggun walau dalam hati terpaksa, dia menuruni tangga menuju ruang tamu. Ibunya saat ini menemaninya. Dan juga ada Ayahnya yang jauh-jauh datang dari luar negeri hanya untuk menghadiri acara lamarannya ini.

Ibunya menuntunnya untuk duduk di sofa ruang tamu yang bersebrangan dengan sofa yang diduduki calon suami Bianca. Sedang Bianca masih dalam mode menundukknya. Entah kenapa sedari tadi dia tak mau mengangkat wajahnya. Ayah dan Ibunya kini sedang berbincang dengan Ayah dan Ibu dari calon suaminya itu atau bisa dibilang yang bernama Amar Malik. Sumpeh, Bianca terlalu malas mendengar perbincangan para orangtua. Rasa-rasanya dia ingin kabur dari sana dan mengunci dirinya di kamar. Sangat bosan.

“Ah baiklah, sekarang kita bisa menentukan tanggal pernikahan putri kalian dengan putra kami, Ryan.”
DEG… Ryan? Apa nama ‘Ryan’ yang disebut tadi?. Karena penasaran Bianca langsung mengangkat wajahnya, menatap tepat di depan orang yang di hadapannya. ‘Apa ini mimpi?’
“Ryan? Kau?”
Bianca memasang tampang blanknya. Sedang orang yang di hadapannya hanya senyum-senyum gaje. Bianca rasanya pengen nabok tu orang.
“Jadi kalian sudah saling kenal? Baguslah kalau begitu.” Kali ini ibu Bianca yang angkat bicara.
“Iya, bu. Kami teman satu kampus dulu.”

“Tunggu, kurasa ini salah paham. Bukannya calonku orang yang bernama Amar Malik? Dan juga foto yang Mama kasih sangat jauh berbeda dengan Ryan.” Ucapan Bianca membuat semua orang yang ada di sana tertawa. Apa dia salah bicara?
“Bian sayang, calonmu memang Amar Malik. Ryan Amar Malik. Dan soal foto itu, itu sebenarnya foto kakak Ryan. Sengaja ditukar sih sama Ryan. Katanya Cuma buat ngerjain kamu aja.” Ujar Ibu Ryan. Bianca pun menatap tajam Ryan.

“Jadi ini rencana kamu? Yang waktu di café itu juga rencana kamu? Hiks.. Kamu jahat, Ryan. Padahal waktu itu aku terpuruk kau tahu. Hiks..” Bianca mulai terisak. Sedang Ryan gelagapan. Dia mengutuk dirinya karena telah membuat anak orang menangis.
“Iya semuanya memang rencana aku. Tapi itu aku lakukan hanya untuk menguji kau sungguh mencintaiku apa tidak.”
“Tapi aku mencintaimu, bodoh!”
“Ya, aku tahu. Dan, sekarang apakah kau mau menerima lamaranku kali ini?”
“Tentu saja aku mau, dasar menyebalkan!” Mendengar jawaban Bianca, semua yang ada disitu tersenyum bahagia. Terlebih lagi si Ryan. Saking bahagianya dia pengen koprol seratus kali tadi. Tapi gak mungkin lah. Dia harus jaga image di depan calon father and mother in-lawnya.

Cerpen Cinta Romantis

Sedang Bianca, dia juga tersenyum dalam tangis harunya. Tak disangkanya semua ini dapat terjadi. Cowok pertama yang merebut hatinya kini akan menjadi imamnya. Cowok yang bertemu dengannya di bawah hujan, berpisah di bawah hujan dan dipertemukan kembali di bawah hujan. Hujan, satu kata yang menjadi asbab semuanya. Dan juga mulai saat ini, Bianca akan mulai menyukai hujan lagi. Karena di bawah hujan dia dipertemukan kembali dengan sang guardian angelnya. Our story always there when the rain come. A story about our sadness or happiness.

SELESAI


0 comments

Post a Comment